Melongok Makna “Ulil Amri” Menurut Ulama Ahlussunnah

01.06



Makna Ulil Amr

Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan, telah berkata Ibnu Juraij rahimahullah tentang firman Allah:

ﻳَﺎ ﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺁﻣَﻨُﻮﺍ ﺃَﻃِﻴﻌُﻮﺍ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻭَﺃَﻃِﻴﻌُﻮﺍ ﺍﻟﺮَّﺳُﻮﻝَ ﻭَﺃُﻭﻟِﻲ ﺍﻟْﺄَﻣْﺮِ ﻣِﻨْﻜُﻢْ ۖ ‏( ﺍﻟﻨﺴﺎء: 59
"Wahai orang-orang beriman taatilah Allah, dan taatilah Rasul dan ulil amri di antara kalian". (QS. An-nisa':59)

Turun kepada Abdullah Ibn Hudzafah Ibn Qais Ibn 'Adi As-Sahmi radhiyallahu anhu ketika diutus Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam dalam peperangan (sebagai amir).

Arti ulil amri dalam hal ini adalah sahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam. Namun ulil amri bukan hanya sahabat Nabi.

Imam An-nawawi  Asy-Syafi’i rahimahullah  berkata: "Adapun yang berpendapat bahwa ulil amri adalah hanya sahabat Nabi adalah pendapat yang salah" (Syarah Sahih Muslim)

Beliau juga berkata: "Para Ulama berpendapat, bahwa (ulil amri) adalah seorang penguasa atau pemimpin yang kepadanya Allah mewajibkan ketaatan. Ini adalah pendapat mayoritas salaf dan khalaf dari kalangan ahli tafsir, ahli fikih dan lainnya. Ulama lainnya berpendapat (ulil amri) adalah ulama, dan ulama lainnya juga berpendapat (ulil amri) adalah ulama dan penguasa". (Syarah Sahih Muslim)

Ibnu Abbas berkata: "(ulil amri) adalah Ahli fiqih dan ahli agama. Mujahid, 'Atha', Al-Hasan Al-Bashri, dan Abul 'Aliyah berkata: "(ulil amri) adalah ulama. (sedangkan) pendapat yang tampak (ulil amri) adalah ulama dan penguasa." (Lihat keterangan Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya ketika mentafsirkan ayat 59 dari surat an-nisa')

"Ulil amri mencakup ulama dan penguasa, karena ulama adalah pemimpin (bertugas) menjelaskan agama (hukum) Allah, dan penguasa adalah pemimpin (bertugas) melaksanakan syariat Allah. Ulama tidak bisa eksis tanpa penguasa dan penguasa tidak bisa eksis tanpa ulama. Penguasa harus merujuk kepada ulama dengan meminta agar menjelaskan syariat Allah. Ulama juga harus menasehati penguasa, mengajaknya untuk senantiasa takut kepada Allah, dan memberikan arahan sehingga syariat (hukum) Allah diterapkan oleh para hamba-Nya." (Lihat Syarah Riyadhus Salihin Karya Syaikh Muhammad Ibn Saleh al-Usaimin rahimahullah)


Ulil Amri (Penguasa) Tidak Bisa Dipisahkan Dari Ulama

Ulil amri dalam arti penguasa di dalam mengemban tugasnya tidak bisa terpisah dari ulama, ulil amri yang memiliki tugas sebagai pemimpin negara harus selalu menggandeng para ulama dalam menjalankan tugasnya sebagai pengawal dalam penerapan syari’at dan pengawal dalam pencapaian kesejahteraan rakyat. Dengan ulil amri dan ulama sebuah negara akan mencapai negara yang aman, sejahtera, berkah dan tercapainya maslahat ummat, baik maslahat agama, maslahat jiwa, maslahat akal, maslahat harta, maupun maslahat harga diri. Hubungan antara ulil amri dan ulama harus senantiasa erat karena besarnya amanah yang diembannya, dan semua itu akan dimintai pertanggungjawaban.

Keeratan ulil amri dan ulama juga akan membuat keeratan rakyat, karena rakyat biasanya akan memperercayakan urusan kepada keduanya. Jika antara keduanya tidak terjalin hubungan yang erat, maka rakyat pun akan berpihak di antara salah satunya dan kemudian menjadi dua kubu yang berpotensi pada perpecahan.

Kesimpulan terakhir, ulil amri adalah penguasa dan ulama, maka jika ulil amri dalam arti penguasa tidak menggandeng ulama, tidak mau menerima nasehat ulama, tidak erat hubungannya dengan ulama, tidak menerapkan syariat Allah yang dijelaskan ulama atau bahkan memusuhi ulama maka ulil amri tersebut tersisa namanya saja (sebagai ulil amri), bukan ulil amri yang sesungguhnya atau bisa dikatakan ulil amri secara bahasa bukan secara istilah syar'i. Wallahu A'lam

[ Oleh: Abul Fata, Lc ]

MIZAR


Artikel Terkait

Previous
Next Post »

1 komentar:

Write komentar
Admin
AUTHOR
11 April 2018 pukul 17.49 delete

Syaikh Abdullah Ibn Abdil Hamid al-Atsari rahimahullah menulis sebuah kitab yang berjudul “Al-Wajiz Fi Aqidati as-Salaf ash-Shalih Ahli Sunnah Wal Jama’ah”
kitab ini telah dimuroja' ah oleh: Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan, Syaikh 'Abdul Muhsin bin Abdul' Aziz al-Askar, selain itu di beri muqaddimah ( Kata Sambutan) oleh Syaikh Abdullah bin 'Abdurrahman al-Jibrin, Syaikh Shalih bin 'Abdul' Aziz Alu Syaikh, Syaikh Nashir 'Abdul Karim al-' Aql, Syaikh Muhammad bin 'Abdurrahman al-Khumais, Syaikh Su' ud bin Ibrahim Asy-Syuraim serta Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu.

Dalam kitabnya beliau menukil perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam kitabnya Minhaj as-Sunnah (1/146),

وأما من عطل منهم شرع الله ولم يحكم به و حكم بغيره، فهؤلاء خارجون عن طاعة المسلمين فلا طاعة لهم على الناس، لأنهم ضيعوا مقاصد الإمامة التى من أجلها نصبوا واستحقوا السمعة و الطاعة و عدم الخروج، و لأن الوالي ما استحق أن يكون كذالك إلا لقيامه بأمور المسلمين، و حراسة الدين و نشره، وتنفيذ الأحكام و تحصين الثغور، وجهاد من عاند الإسلام بعد الدعوة، و يوالي المسلمين و يعادي أعداء الدين، فإذا لم يحرس الدين أو لم يقم بأمور المسلمين، فقد زال عنه حق الإمامة و وجب على الأمة - متمثلة بأهل الحال و العقد الذين يرجع إليهم تقدير الأمر في ذالك - خلعه و نصب آخر ممن يقوم بتحقيق مقاصد الإمامة. فأهل السنة عندما لا يجوزون الخروج على الأئمة بمجرد الظلم و الفسق - لأن الفجور و الظلم لا يعني بتضييعهم للدين - فيقصدون الإمام الذي يحكم بشرع الله، لأن السلف الصالح لم يعرفوا إمارة لا تحافظ على الدين فهذه عندهم ليست إمارة، و إنما الإمارة هي ما أقامت الدين ثم بعد ذالك قد تكون إمارة برة أو إمارة فاجرة

"Adapun para pemimpin yang meniadakan syari'at Allah dan tidak berhukum kepadanya serta berhukum kepada selainnya, maka mereka keluar dari hak (mendapatkan) ketaatan dari kaum muslimin.
Tidak ada ketaatan kepada mereka dari rakyat karena mereka menyia-nyiakan fungsi imamah yang karenanya mereka dijadikan pemimpin dan berhak didengar, dipatuhi serta tidak diberontak.
Karena pemimpin tidak berhak mendapatkan itu, kecuali karena ia menunaikan urusan-urusan kaum muslimin, menjaga agama dan menyebarkannya, menjalankan hukum, menjaga perbatasan, memerangi orang-orang yang menentang islam setelah mereka didakwahi. Mencintai kaum muslimin dan memusuhi musuh-musuh agama.
Apabila dia tidak menjaga agama atau tidak menunaikan urusan kaum muslimin, maka hilanglah hak imamah darinya dan wajib atas umat - yang diwakili oleh ahlul hal wal aqdi dimana mereka menjadi rujukan dalam menentukan masalah seperti ini - untuk memecatnya/menurunkannya dan menggantikannya dengan orang lain yang dapat merealisasikan fungsi imamah.
Ketika Ahlus Sunnah tidak membolehkan memberontak dan melawan para pemimpin karena sekedar kezholiman dan kefasikan - karena kezholiman dan kefasikan tidak berarti mereka Menyia-nyiakan agama- maka yang mereka (Ahlus Sunnah) maksudkan dengan pemimpin disini adalah para imam/pemimpin yang berhukum dengan syari'at Allah, karena shalafus shalih tidak mengenal imarah/kepemimpinan (pemerintahan) yang tidak menjaga/menegakkan agama. Pemerintahan dengan model seperti ini (yang tidak menjaga agama dan menunaikan urusan kaum kaum muslimin) - menurut mereka (salafus shalih) - bukanlah imarah/pemerintahan. Imarah itu hanyalah yang menegakkan agama, dan ia bisa merupakan imarah yang baik ataupun imarah yang fajir." (Lihat Al-Wajiz Fi 'Aqidah As-Salaf Ash-Shalih oleh Syaekh ' Abdullah bin 'Abdul Hamid Al-Atsari, hal 133) http://kallolougii.blogspot.co.id/2018/03/makna-ulil-amri-syari.html

Reply
avatar