ألØمد لله رب العلمين Ùˆ الصلا Ø© Ùˆ
السلا Ù… على ر سو Ù„ الله Ù…Øمد Ùˆ على أله Ùˆ أصØا به أجمعين Ø£ ما بعد,
Saudaraku..,
kalau berbicara dengan kelompok pengajian tertentu, pengikut majelis taklim
tertentu, pembaca majalah tertentu, pendengar radio tertentu, atau fanatikus
ustadz dan syaikh tertentu; entah kenapa mereka sangat sering menyebut kata “hizbiyyah”.
Bukan hanya menyebut kata “hizbiyah”, tetapi sering juga menuduh orang
lain yang tidak sejalan dengannya dalam sistem dakwah sebagai hizbiyyah, lalu
menerapkan sanksi sosial atasnya, berupa celaan, peringatan, boikot, dan
seterusnya, atas nama "Tahdzir", atas nama "Jarh wa Ta'dil",
dan lain-lain.
Jika
pihak-pihak yang menjadi sasaran celaan, peringatan, dan tahdzir itu adalah
kalangan Muslim yang ikhlas melaksanakan amar ma'ruf nahi munkar, meniti jejak
langkah Salafus Shalih dalam dakwah dan jihad, persoalannya menjadi sangat
serius. Para penuduhnya akan terjatuh dalam kesalahan fatal, dan disadari atau
tidak ia telah memusuhi para du'at (baca: para da’i) -yang menyeru ummat kepada
Tauhid dan Sunnah-, menjauhkan manusia dari jalan Allah, serta ikut memadamkan
cahaya Allah di muka bumi.
Hal-hal
demikian ini bukan masalah kecil, tapi sangat serius! Sebab yang demikian itu mencerminkan
amal perbuatan musuh-musuh Allah dari kalangan orang-orang kafir dan munafiq.
Ketika dihadapkan dengan realita penguasa-penguasa zalim dan sekuler mereka
seolah bersikap seperti Murji'ah, sedangkan ketika berhadapan dengan
para Da'i Sunnah mereka seolah bersikap seperti Khawarij.
Keberadaan
mereka ditengah ummat seolah menjadi pengacau dan penghancur terhadap setiap
gerakan dakwah yang berusaha membangkitkan kembali ummat ini dari keterpurukan
secara Ilmiyah dan Siyasiyah.
Ketika
muncul kalangan yang mengkritisi penguasa zalim dan sekuler secara terbuka,
mereka pun bergegas untuk melabeli kalangan itu dengan "Hizbiyyah",
atau yang paling beratnya adalah "Khawarij", wal-'iyaadzu billah.
Mereka beralasan bahwa haram mengkritik penguasa secara terbuka karena bukan
bagian dari manhaj Salaf.
Berdalil
dengan Hadits Dha'if mereka pertahankan sikap ini dengan anggapan bahwa
meluruskan kesalahan dan kepenyimpangan penguasa sekuler dapat menimbulkan
mudhorot dan fitnah, sekaligus memvonis kalangan tersebut dengan sekte
Qa'adiyah (Khawarij gaya baru).
Sejatinya,
sikap terhadap penguasa dan da'i haruslah tetap berpatokan pada timbangan Islami
yang benar. Kalau menjelek-jelekkan penguasa zalim dan sekuler di depan umum
sangatlah berbahaya (menurut mereka), maka menjelek-jelekkan para da'i pengibar
Sunnah dan melebeli mereka "Hizbiyyah" pun sangat tercela sekali.
Seperti halnya memburuk-burukkan penguasa dapat menimbulkan fitnah, maka memburuk-burukkan
para Da'i dan serampangan memvonis mereka dengan tuduhan “Hizbiyyah" pun
juga dapat menimbulkan fitnah.
Kalau
kita diharuskan untuk tidak memburuk-burukkan penguasa zalim dan sekuler di
depan umum (walaupun kita sendiri tidak pernah menjelekk-jelekkan penguasa
kecuali hanya kritik) karena takut fitnah, maka dengan alasan yang sama pula
kita harusnya tidak menjelek-jelekkan para Da'i pengibar Sunnah.
Demikian
pula, sikap hizbiyyah (fanatik buta kekelompokan) yang sebenarnya merupakan
penyimpangan dalam agama, hal itu kerap mereka klaim sebagai “Manhaj Ahlus
Sunnah”. Tentu saja, klaim demikian merupakan kesalahan besar. Bahkan ia
termasuk sikap membohongi ummat dan penipuan massal secara membabi buta.
Sebenarnya
kondisi saya sedang sakit, lemas, dan bisa dibilang kurang bersinergi untuk
menulis artikel dalam beberapa hari ini (karena sakit). Akan tetapi, saya
tergelitik saat membuka akun facebook dan melihat status salah seorang Ikhwan
yang lumayan Likernya, saya tersenyum membacanya dan terhasung untuk memberi
pencerahan.
Ada
orang merangkai status begini:
“Berlepas
diri dari Hizbiyyun dan orang-orang Harokah itu lebih baik dan lebih menjaga
ketenangan hati kita dari yang namanya Syubhat. Jika kita tidak berlepas diri
dari mereka lalu kita duduk di Majelis-majelisnya wah bahaya apalagi menyangkut
Aqidah dan Manhaj. Bisa numpuk deh tuh Syubhat-syubhat nya...”
[Selesai
Kutipan]
Tanggapan
Saya: Perkataan ini ringan tapi berat ditimbangan, kalau ia tidak merinci apa
yang dia maksud dengan statement di atas mau tidak mau akan menjadikan
pernyataan itu sebagai pernyataan yang tak tersyarahkan, dan dapat berkonotasi
negatif atau positif tergantung tingkat pemahaman orang yang membacanya.
Karena
menurut kami aneh bin ajaib, bagaimana bisa dakwah berlepas dari yang namanya
"Harokah”?
Harokah
itu artinya pergerakan, suatu gerakan dakwah yang terorganisir, ada pengurus,
ada struktural. Kalau dakwah tanpa Harokah terus gimana?
Muhammadiyah
itu harokah (pergerakan organisasi), ia berharokah (bergerak) di bidang sosial
dan pendidikan. Persatuan Islam (Persis) juga Harokah, bahkan Salafiyyun
sendiri punya Harokah, namanya Perhimpunan Al-Irsyad, sebuah Harokah Salafiyah
yang di dalamnya mayoritas kaum Hadrami (keturunan arab yaman), Lah kalau tidak
pakai Harokah terus gimana?
Para
Sahabat itu berharokah. Abu Bakar Ash-Siddiq Radhiyallahu 'anhu itu
bukan orang yang banyak meriwayatkan Hadits, beliau seorang Haroki; ngurusi
ummat dengan Jihad dan Politik syar'i, ini namanya apa dong kalau bukan
Harokah?
Demikian
pula 'Umar Bin Khathab Radhiyllahu ‘anhu, bukan seorang yang banyak
meriwayatkan Hadits sebagaimana Abu Hurairah Radhiyllahu ‘anhu; beliau
seorang Haroki, orang yang bergerak. Bergerak untuk ummat. Ada aksi dan ada
reaksi. Bukan dakwah-dakwah saja, tapi beliau turun ke lapangan untuk Jihad dan
berpolitik syar'i; demi meninggikan kalimat Allah. Ini apa dong namanya kalau
bukan Harokah?
Harokah
yang dilarang adalah mendirikan Harokah atau sebuah pergerakan dengan membangun
wala' wal bara' (cinta dan benci) di atas Harokahnya. Contoh
sederhananya begini: Harokah A menganggap Harokah B salah dan sesat, atau
Harokah C tidak mau bermuamalah dengan Harokah D. Atau Harokah E menganggap
Harokah F itu sesat dan salah. –padahal kenyataannya tidak demikian-. Nah ini
yang di sebut Hizbiyah. Membangun wala' wal baro' bukan di atas
Al-Qur'an dan Sunnah tetapi di atas loyalitas organisasi dan Harokah.
Harokah
itu adalah gerakan dan susunan struktural da'wiyah. Yayasan itu termasuk
Harokah, kalau antum haramkan harokah maka haram juga Yayasan Al-Kahfi di
Batam, atau Yayasan Ihya'u Turots Al-Kuwaiti yang banyak membantu dakwah
Salafiyah di seluruh penjuru dunia. Radio Rodja Bogor dan Radio Hang Batam itu
pakai “Harokah”; dalam arti ada pembina, pengurus, ketua, bendahara,
sekertaris, dan lain-lain. Susunan struktural yang demikian terorganisir itu
namanya Harokah. Berarti, Radio Rodja dan Radio Hang itu “Hizbiyah” juga?
Memahami
Esensi Harokah
Coba
Anda fahami, selama ini muncul gerakan-gerakan Islam yang memiliki misi untuk
menegakkan ajaran Islam secara kaaffah. Dengan segala kekurangan mereka- mereka
bercita-cita mendirikan Daulah Islamiyyah 'Ala Manhajin Nubuwwah, sebagian lain
bercita-cita menegakkan Syariat Islam, bahkan ada juga yang berjuang membangun
kepemimpinan Islam global (Khilafah Islamiyyah). Secara haqqul yakin, semua
misi itu adalah baik seluruhnya. Bahkan seperti itulah harapan yang dikehendaki
oleh Syariat Islam.
Untuk
mewujudkan harapannya, gerakan Islam melakukan pengaturan-pengaturan tertentu.
Di sana ada pemimpin, ada sistem pembinaan, ada aturan yang diterapkan, ada
disiplin yang dipegang-teguh, ada kerja-kerja kolektif, dan lainnya. Bahkan
seringkali, gerakan Islam tersebut memiliki nama tertentu yang dikenalkan
kepada kalangan internal maupun eksternal.
Kadang-kadang
muncul sikap salah faham dari kelompok tertentu. Mereka menuduh gerakan Islam
tersebut bersikap hizbiyyah (fanatik buta).
“Buktinya,
mereka punya nama tertentu, punya logo, punya sistem kaderisasi, punya materi
tarbiyah tertentu. Mereka membuat aturan-aturan internal, punya kartu
keanggotaan, punya struktur DPP, DPW, cabang-cabang, dan sebagainya. Tidak
diragukan lagi, semua ini adalah hizbiyyah yang dilarang oleh agama,” begitu
alasan para penuduh itu.
Al-Ustadz
Abi Syakir menjelaskan, tuduhan-tuduhan ini kerap kali kasar, menjurus fitnah,
dan menyesatkan pemahaman. Akibatnya, banyak kaum Muslimin kebingungan. Satu
sisi, mereka melihat gerakan-gerakan Islam memiliki tujuan mulia, tetapi di
sisi lain gerakan Islam dituduh hizbiyyah, seperti perilaku orang-orang
musyrikin.
Atas
dasar minimnya ilmu, dan sikap “tidak mau ambil resiko” banyak orang termakan
oleh tuduhan-tuduhan itu. Maka dengan sendirinya, para penuduh telah
menyebarkan fitnah, kesesatan, dan keresahan di kalangan Ummat Islam.
Untuk
menilai hizbiyyah atau tidaknya suatu gerakan Islam, tentu harus dilihat asal
munculnya gerakan itu. Mengapa gerakan itu muncul dan apa tujuan eksistensi
mereka? Jika tujuannya adalah duniawi, menuruti hawa nafsu, menyebarkan
kesesatan, berbuat makar terhadap Ummat, serta menolong orang-orang kafir dalam
memerangi kaum Muslimin, maka hakikat gerakan seperti ini ya jelas haram.
Contoh:
gerakan Syi'ah, Shufi anti Syariat, Ahmadiyyah, NII KW 9, Lia Eden,
Liberalisme, Pluralisme, Orientalisme, Sekte Mulukiyah (Harokah Neo-Murji'ah),
dan lain-lain. Gerakan-gerakan seperti ini tidak menambah kesembuhan bagi
Ummat, justru menjadi kanker ganas yang merusak di tengah-tengah kehidupan kaum
Muslimin.
Namun
jika tujuannya mulia, luhur, dan Islami, misalnya memperkuat kehidupan Ummat, mendakwahkan
Al-Qur’an dan Sunnah, menegakkan Syariat Islam, membangun Daulah Islamiyyah,
membangun Khilafah Islamiyyah 'Ala Manhajin Nubuwwah; maka kondisi yang ada
dalam gerakan itu, kelebihan atau kekurangannya, kembali kepada tujuan awal
gerakan tersebut.
Dalam
kaidah fiqih disebutkan, “Al amru ma’a maqashidihi” (suatu urusan itu
tergantung tujuannya). Hal ini sesuai dengan sabda Nabi, “Bahwa setiap amal itu
tergantung niatnya, maka bagi setiap orang mendapatkan pahala sesuai apa yang
dia amalkan.” (HR. Imam Bukhari-Muslim).
Pengaturan-pengaturan
internal yang ditempuh oleh gerakan Islam, bukanlah ditujukan untuk iftiraq
(berpecah-belah), tetapi untuk membangun kekuatan gerakan itu sendiri. Semakin
kuat konstruksi gerakan, semakin dekat kepada tujuan yang diharapkan. Bagaimana
mungkin kita akan menegakkan Islam dengan cara-cara serampangan, dengan kerja
seenaknya, tanpa perencanaan, koordinasi, pengaturan dan sebagainya?. Padahal
sebagian orang sekedar untuk membuka warung Warteg saja mereka membutuhkan
pengaturan. Bahkan para pengemis sengaja melakukan pengaturan untuk mendapatkan
hasil uang maksimal.
Adalah
suatu kebodohan yang mengerikan ketika untuk menegakkan nilai-nilai Islam agar
hidup di tengah-tengah masyarakat, kita tidak membutuhkan pengaturan. Jelas
semua itu hanyalah omong kosong belaka. Apalagi Nabi Shallallahu 'alaihi wa
'ala aalihi wa shahbihi wa sallam bersabda, “Kataballahul-ihsana ‘ala
kulli syai’in” (Allah telah mewajibkan al ihsan dalam segala urusan).
Ketika
gerakan-gerakan Islam dicela sebagai hizbiyyah, maka pada saat yang sama
orang-orang kafir menyempurnakan gerakan mereka. Mereka bukan saja melakukan
pengaturan, tetapi juga memilih pemimpin yang tangguh, menerapkan aturan ketat,
mendidik kader sehebat-hebatnya, melakukan studi, penelitian, bahkan meneliti
aspek Sosisologi, Antropologi, serta Psikologi masyarakat. Tentu saja, mereka
mengerahkan dana, teknologi, fasilitas, serta metode-metode canggih.
Gerakan
Islam kerap menerapkan prinsip bai’at, yaitu komitmen kesetiaan anggota untuk
tetap berada di atas misi dakwah dan mencegah segala bentuk intervensi dari
unsur-unsur eksternal yang memusuhi. Bai’at seperti ini diilhami oleh perbuatan
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alayhi wa sallam ketika meminta para Shahabat
Radhiyallahu 'anhum berbai’at di bawah pohon.
Bai’at
itu kemudian dikenal sebagai Bai’atur Ridhwan. Begitu pula dengan
Bai’atul Aqabah, di mana utusan-utusan dari Madinah siap hidup-mati membela
dakwah dan risalah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alayhi wa sallam. Jadi
intinya, meminta kepastian komitmen seorang Muslim untuk teguh dan amanah dalam
mengemban misi perjuangan Islam. Hal demikian ini Syar’i, sebab dilakukan
dengan bercermin pada perbuatan Nabi sendiri.
Namun
oleh kalangan pengajian tertentu, ia sering dituduh sebagai “membuat bai’at
baru” di luar bai’at kepada pemimpin politik yang berkuasa. Padahal konteks
bai’at-nya berbeda, satu untuk komitmen perjuangan dan satu lagi untuk
mendukung kepemimpinan politik. Lagi pula, dalam sistem sekuler, tidak dikenal
istilah bai’at. Pemimpin sekuler yang diangkat, dia sama sekali tidak peduli
apakah warganya akan mati dalam keadaan Islam atau mati jahiliyyah. Pemimpin
sekuler tidak memiliki komitmen dalam perkara seperti itu.
Dan
lebih aneh lagi, ketika kaum Muslimin berselisih tentang kedudukan bai’at gerakan
Islam, di bawah sistem sekuler, maka orang-orang Freemasonry telah menerapkan
33 tingkatan bai’at dalam gerakan mereka. Untuk tingkatan ke-2 atau ke-3 saja,
seorang kader Mason harus siap menyerahkan nyawa demi membela misi Freemasonry.
Dalam
bai’at lebih lanjut, mereka harus rela menyerahkan harta-benda, keluarga,
bahkan agama, untuk digadaikan dengan misi Freemasonry. Orang kafir sangat
komitmen membangun kekuatan, sementara kalangan Islam terus sibuk dengan
perselisihan-perselisihan yang rancu dan saling menghujat.
Dalam
gerakan apapun, jika tidak ada jaminan komitmen dari pendukungnya, jelas akan
mudah dirusak oleh orang-orang yang membenci. Makanya dalam militer dikenal
istilah “Sumpah Prajurit”, dan setiap pejabat yang hendak diangkat sebagai
pejabat, dia harus melakukan “Sumpah Jabatan”. Terserah apapun namanya, apakah
al-bai’at, al-‘aqdu, al-qasam (sumpah setia), al-wa’id (janji), al-mitsaqan
ghalizhah (perjanjian yang teguh), dan lain-lain. Intinya, komitmen dengan misi
perjuangan Islam dan tidak mengkhianati amanah orang-orang beriman.
Di
bawah kepemimpinan dan sistem Islami, memang tidak diperkenankan ada
bai’at-bai’at lain, selain bai’at resmi kepada pemimpin Islam. Tetapi di bawah
sistem sekuler yang tidak mendukung Islam, bahkan bersikap memusuhi, hukum
bai’at itu otomatis gugur. Tidak mungkin kaum Muslimin diperintahkan membai’at
pemimpin yang tidak mau menegakkan hukum Allah dan Rasul-Nya. Bai’at kepada
pemimpin sekuler sama saja dengan mendukung sekularisme itu sendiri.
Memang
tidak dipungkiri bahwa di kalangan gerakan Islam sendiri kadang ada
masalah-masalah dan kekeliruan-kekeliruan. Misalnya sikap anggotanya yang
fanatik, mau menang sendiri, enggan bekerjasama, dan lain-lain. Hal itu tentu
saja merupakan kesalahan-kesalahan yang harus diperbaik dan diluruskan.
Tetapi
kesalahan tersebut tidak boleh menghanguskan semua kebaikan yang ada di sana,
termasuk tujuan mulia di balik berdirinya gerakan-gerakan itu.
Kesalahan-kesalahan individu atau parsial, hendaknya dihadapi secara
proporsional, adil dan wasath, bukan divonis secara membabi-buta, demikianlah
manhaj As-Salafiyyah.
Sedangkan
Anda yang merasa paling Ahlus Sunnah sementara orang-orang yang tidak
sepengajian dengan Anda kemudian Anda anggap ahli bid'ah, itulah yang dinamakan
Hizbiyah. Sehingga judulnya adalah: Hizbiyah teriak Hizbiyah.
Semestinya
labelisasi itu merupakan perkara yang ditangani Ulama-Ulama khusus saja, yang
mampu melihat suatu kondisi dengan semua instrumen pendekatan yang
konphrehensif dan paling faham akan Ilmu agama. Bukan orang-orang seperti Anda
dan saya.
Sering
kita mendengar perkataan sebagian orang dalam suatu masalah.
"Ini
bukan salafy, salafy tidak berpendapat seperti ini, Abu Fulan bukan Salafi, dia
Haroki, Dia Hizbi..." dan seterusnya..
Sadarkah
Anda bahwa Anda telah terjerumus pada lumpur Hizbiyah? Ya, Hizbiyah tanpa
sadar.
Sebenarnya
sih tidak ada persoalan dengan istilah “Salafi”. Karena, secara harfiah istilah
“Salafi” itu bermakna mengikuti kaum salaf, yakni Rasulullah Shallallahu ‘alayhi
wa sallam dan para Sahabat Radhiyallahu'anhum. Setiap Muslim tentu
bertekad untuk meneladani Rasulullah dan para sahabat serta tabi’in. Generasi
Rasulullah, sahabat dan tabi’in adalah generasi terbaik umat ini. Generasi
iniah yang disebut As-Salafush Shalih.
Di
masa tabi’in dan sesudahnya, guna menghadapi pemikiran dan keyakinan bid’ah
yang menyesatkan seperti Khawarij, Syi’ah, Qadariyah, Murji’ah, Mu’tazilah dan
lainnya, muncul istilah Ahlu Sunnah wal Jamaah. Istilah ini menegaskan
keharusan umat Islam untuk berpegang pada Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan agar
umat Islam bersatu di dalamnya.
Dalam
konteks kekinian, kehadiran gerakan Salafi kontemporer mempunyai sejumlah nilai
positif dalam bentuk upaya menghidupkan sunnah, memerangi syirik dan bid’ah,
menekankan rujukan kepada para ulama yang keilmuannya diakui oleh kaum Muslimin
dan lainnya.
Secara
sederhana, Salafi berarti orang-orang di zaman sekarang yang mengikuti generasi
Salaf. Jadi, Salaf yang dimaksud adalah tiga generasi Islam permulaan (generasi
Rasulullah dan para sahabat, lalu generasi Tabi’in dan gerenasi Tabi’ut
Tabi’in) itulah yang kerap disebut As-Salafus Shalih, yaitu para pendahulu umat
Islam yang shalih. Istilah Salafi merujuk pada pengertian bahwa seseorang yang
mengikuti ajaran Salafus Shalih. Adapun bentuk jamak (plural) dari Salafi ialah
Salafiyyun atau Salafiyyin.
Lalu,
apakah sekedar pengakuan dan klaim-klaim belaka?
Hasya
Wa Kalla.
Sama sekali tidak .
Salafi
Hakiki adalah sebagaimana yang digambarkan oleh Allah dalam Al-Qur'an, “…bersikap
tegas kepada orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang dengan sesama mereka
(sesama mukmin)…” (QS. Al-Fath ayat 29).
Bukan
justru malah dibalik; bersikap keras terhadap sesama Muslim namun berlemah
lembut terhadap kaum Kafir. Sehingga bila mengurai beberapa ayat Al-Qur’an
tentang sifat-sifat para Sahabat Radhiyallahu 'anhum, maka dalam diri
para Salafus Shalih memiliki sifat-sifat mulia berikut ini:
1.
Beraqidah lurus, beribadah kepada Allah, dengan tidak menjadikan bagi-Nya
sekutu dalam bentuk apapun, baik Rububiyahnya, Uluhiyahnya, serta Asma' dan
Shifatnya.
2.
Mengimani Rasulullah, membenarkan ajarannya, memuliakan Syari’atnya, membela
kemuliannya, serta berjalan di atas cahaya petunjuknya.
3.
Sebagai konsekuensi tauhid ialah munculnya Al-Wala’ Wal Bara’, yaitu menetapkan
Wala’ (Kesetiaan) kepada orang-orang yang beriman, dan menetapkan Bara’ (benci
dan antipati) kepada orang-orang kafir.
4.
Mengerjakan shalat (berjamaah bagi laki-laki dewasa) kalau tiada uzur syar'i,
menunaikan zakat, menginfakkan sebagian rezeki disaat lapang maupun sempit.
5.
Sikap itsar, yakni mendahulukan saudara mukmin, meskipun diri sendiri
kukurangan dan membutuhkan.
6.
Hidupnya bermanfaat bagi orang lain, ibarat pohon korma yang selalu
mengeluarkan buah di setiap musim.
7.
Senantiasa menyuruh berbuat kebaikan dan mencegah dari perbuatan buruk
(menunaikan amar makruf nahi munkar) sesuai batas kemampuan, baik lisan maupun
tulisan.
8.
Berakhlaq mulia, menjauhi kesia-siaan, memelihara kehormatan diri, menunai
amanah dan jani-janji. Menahan amarah, memaafkan manusia, serta tidak melayani
perkataan orang-orang jahil.
9.
Senantiasa berdzikir mengingat Allah di pagi dan petang, tidak lalai dari
dzikir karena kesibukan perdagangan, jual beli, pekerjaan dll.
10.
Menunaikan hak-hak persaudaraan (ukhuwah), tidak menghina, tidak mencela, tidak
memanggil dengan gelaran buruk, menghindari prasangka buruk, tajassus
(mencari-cari kesalahan), dan ghibah (bergunjing).
11.
Hatinya lembut untuk senantiasa bertaubat, memohon ampun atas dosa-dosa, dan
lekas berhenti dari perbuatan keji.
12.
Berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwa, serta tidak melemah atau lesu
menghadapi segala resiko jihad di jalan Allah.
Alangkah
cocoknya ciri-ciri Salafus Shalih di atas dengan yang disampaikan Al-Ustadz
Abdullah Shalih Hadrami dalam statusnya yang di Like oleh kurang lebih 700
Liker. Beliau berkata,
“Salafy
itu Indah. Salafy itu siapa saja yang berpegang teguh kepada Al-Qur'an dan
As-Sunnah. Salafy itu mengikuti pemahaman para sahabat Nabi dan para ulama
Ahlus Sunnah Wal Jama'ah.
Salafy
itu bukan kelompok tertentu yang eksklusif. Salafy itu suka persatuan dan
membenci perpecahan.
Salafy
itu bisa bekerjasama dan bersinergi dengan kelompok lain sesama Ahlus Sunnah
Wal Jama'ah untuk kepentingan umat.
Salafy
itu baik kepada orang lain, suka membantu, tidak mengganggu, wajahnya
berseri-seri, tidak bermasam muka dan sinis. Salafy itu bisa dipercaya dan
amanat dalam bermuamalah, Salafy itu mencari nafkah halal dan menghindari yang
haram.
Salafy
itu berbakti kepada kedua orang tua, menyambung tali silaturrahim, memuliakan
tetangga dan suka memaafkan, Salafy itu baik kepada anak-anak yatim, fakir
miskin dan orang-orang lemah.
Salafy
itu berakhlaq kepada guru dan tidak pernah melupakan jasanya. Salafy itu memuliakan
dan menghormati para ulama.
Salafy
itu jauh dari sifat ujub, sombong dan tidak berbuat zalim, Salafy itu semakin
rajin ngaji semakin mulia akhlaknya, baik perangainya, bersih hatinya dan suci
jiwanya. Salafy itu selalu melakukan muhasabah atau introspeksi dan mawas diri.
Salafy
itu selalu mengedepankan akhlakul karimah dan menjauhi akhlak yang rendah dan
hina, Salafy itu hubungannya dengan Allah baik dan dengan manusia juga baik.
Salafy
itu meniru Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa salam dalam
semua aspek kehidupannya; aqidah, ibadah, akhlak, muamalah dan lainnya..
Sudah
pantaskah kita mengaku sebagai Salafy?
Betapa
banyak yang mengaku Salafy tapi justru mencoreng wajah Salafy?
Sungguh
indah dan sangat cocok untuk kita semua nasehat Al-Imam Ibnul Jauzi
Rahimahullah dalam kitabnya "Shaidul Khathir" dan patut
menjadi renungan kita semua:
"Aku
perhatikan saling hasad (iri dengki) di kalangan ulama, maka aku lihat sumbernya
adalah karena cinta dunia. Sesungguhnya ulama akhirat itu saling mencintai dan
tidak saling hasad (iri dengki)".
Semoga
Allah golongkan kita semua dalam kelompok ulama akhirat, aamiin.”
Demikianlah
yang bisa saya sampaikan mudah - mudahan bermanfaat bagi kita semua.
Wallahu
a'lam bishowab.
[ Sumber:
Grup WA Ahlussunnah 2 ]
Artikel lainnya:
5 komentar
Write komentarmasyaalloh.....sangat bermanfaat syukron jazakalloh khoiron
Replyijin share tadz
ReplySilahkan..
ReplyJazakallah khairan pk Wagiman..
Silahkan..
ReplyJazakallah khairan pk Wagiman..
Syubhat HASMI
Replybertaqwalah kepada allah wahai Muslimin
DUSTA ATAS NAMA ALLAH DAN ROSULNYA
KETIKA KESESATAN DI ANGGAP KEBENARAN
UPAYA MEREDUPKAN JARH WA TADIL AMAR MAKRUF NAHI MUNKAR
DARWIN FITRIADI
GUNUNG PUTRI BOGOR
INSYA ALLAH SALAFY MENGIKUTI SALAF (SEBAIK BAIK SALAF ADALAH ROSULULLAH)
TAUBATLAH WAHAI UMMAT YANG DIBEBANI SYARIAT
GHOFARALLAHULAHU
EmoticonEmoticon