Makna Ulil Amr
Imam Muslim rahimahullah
meriwayatkan, telah berkata Ibnu Juraij rahimahullah tentang firman
Allah:
ﻳَﺎ ﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺁﻣَﻨُﻮﺍ ﺃَﻃِﻴﻌُﻮﺍ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻭَﺃَﻃِﻴﻌُﻮﺍ
ﺍﻟﺮَّﺳُﻮﻝَ ﻭَﺃُﻭﻟِﻲ ﺍﻟْﺄَﻣْﺮِ ﻣِﻨْﻜُﻢْ ۖ
( ﺍﻟﻨﺴﺎء: 59
"Wahai orang-orang beriman taatilah
Allah, dan taatilah Rasul dan ulil amri di antara kalian". (QS. An-nisa':59)
Turun kepada Abdullah Ibn Hudzafah
Ibn Qais Ibn 'Adi As-Sahmi radhiyallahu anhu ketika diutus Nabi Shallallahu
Alaihi Wasallam dalam peperangan (sebagai amir).
Arti ulil amri dalam hal ini
adalah sahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam. Namun ulil amri bukan
hanya sahabat Nabi.
Imam An-nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah berkata: "Adapun yang berpendapat bahwa
ulil amri adalah hanya sahabat Nabi adalah pendapat yang salah" (Syarah
Sahih Muslim)
Beliau juga berkata: "Para
Ulama berpendapat, bahwa (ulil amri) adalah seorang penguasa atau pemimpin yang
kepadanya Allah mewajibkan ketaatan. Ini adalah pendapat mayoritas salaf dan
khalaf dari kalangan ahli tafsir, ahli fikih dan lainnya. Ulama lainnya
berpendapat (ulil amri) adalah ulama, dan ulama lainnya juga berpendapat (ulil
amri) adalah ulama dan penguasa". (Syarah Sahih Muslim)
Ibnu Abbas berkata: "(ulil
amri) adalah Ahli fiqih dan ahli agama. Mujahid, 'Atha', Al-Hasan Al-Bashri,
dan Abul 'Aliyah berkata: "(ulil amri) adalah ulama. (sedangkan) pendapat
yang tampak (ulil amri) adalah ulama dan penguasa." (Lihat keterangan Ibnu
Katsir rahimahullah dalam tafsirnya ketika mentafsirkan ayat 59 dari
surat an-nisa')
"Ulil amri mencakup ulama dan
penguasa, karena ulama adalah pemimpin (bertugas) menjelaskan agama (hukum)
Allah, dan penguasa adalah pemimpin (bertugas) melaksanakan syariat Allah.
Ulama tidak bisa eksis tanpa penguasa dan penguasa tidak bisa eksis tanpa
ulama. Penguasa harus merujuk kepada ulama dengan meminta agar menjelaskan
syariat Allah. Ulama juga harus menasehati penguasa, mengajaknya untuk
senantiasa takut kepada Allah, dan memberikan arahan sehingga syariat (hukum)
Allah diterapkan oleh para hamba-Nya." (Lihat Syarah Riyadhus Salihin
Karya Syaikh Muhammad Ibn Saleh al-Usaimin rahimahullah)
Ulil Amri (Penguasa) Tidak Bisa
Dipisahkan Dari Ulama
Ulil amri dalam arti penguasa di dalam
mengemban tugasnya tidak bisa terpisah dari ulama, ulil amri yang memiliki
tugas sebagai pemimpin negara harus selalu menggandeng para ulama dalam
menjalankan tugasnya sebagai pengawal dalam penerapan syari’at dan pengawal
dalam pencapaian kesejahteraan rakyat. Dengan ulil amri dan ulama sebuah negara
akan mencapai negara yang aman, sejahtera, berkah dan tercapainya maslahat
ummat, baik maslahat agama, maslahat jiwa, maslahat akal, maslahat harta,
maupun maslahat harga diri. Hubungan antara ulil amri dan ulama harus
senantiasa erat karena besarnya amanah yang diembannya, dan semua itu akan
dimintai pertanggungjawaban.
Keeratan ulil amri dan ulama juga
akan membuat keeratan rakyat, karena rakyat biasanya akan memperercayakan
urusan kepada keduanya. Jika antara keduanya tidak terjalin hubungan yang erat,
maka rakyat pun akan berpihak di antara salah satunya dan kemudian menjadi dua
kubu yang berpotensi pada perpecahan.
Kesimpulan terakhir, ulil amri
adalah penguasa dan ulama, maka jika ulil amri dalam arti penguasa tidak
menggandeng ulama, tidak mau menerima nasehat ulama, tidak erat hubungannya
dengan ulama, tidak menerapkan syariat Allah yang dijelaskan ulama atau bahkan
memusuhi ulama maka ulil amri tersebut tersisa namanya saja (sebagai ulil
amri), bukan ulil amri yang sesungguhnya atau bisa dikatakan ulil amri secara
bahasa bukan secara istilah syar'i. Wallahu A'lam
[ Oleh: Abul Fata, Lc ]
1 komentar:
Write komentarSyaikh Abdullah Ibn Abdil Hamid al-Atsari rahimahullah menulis sebuah kitab yang berjudul “Al-Wajiz Fi Aqidati as-Salaf ash-Shalih Ahli Sunnah Wal Jama’ah”
Replykitab ini telah dimuroja' ah oleh: Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan, Syaikh 'Abdul Muhsin bin Abdul' Aziz al-Askar, selain itu di beri muqaddimah ( Kata Sambutan) oleh Syaikh Abdullah bin 'Abdurrahman al-Jibrin, Syaikh Shalih bin 'Abdul' Aziz Alu Syaikh, Syaikh Nashir 'Abdul Karim al-' Aql, Syaikh Muhammad bin 'Abdurrahman al-Khumais, Syaikh Su' ud bin Ibrahim Asy-Syuraim serta Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu.
Dalam kitabnya beliau menukil perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam kitabnya Minhaj as-Sunnah (1/146),
وأما من عطل منهم شرع الله ولم يحكم به و حكم بغيره، فهؤلاء خارجون عن طاعة المسلمين فلا طاعة لهم على الناس، لأنهم ضيعوا مقاصد الإمامة التى من أجلها نصبوا واستحقوا السمعة و الطاعة و عدم الخروج، و لأن الوالي ما استحق أن يكون كذالك إلا لقيامه بأمور المسلمين، و حراسة الدين و نشره، وتنفيذ الأحكام و تحصين الثغور، وجهاد من عاند الإسلام بعد الدعوة، و يوالي المسلمين و يعادي أعداء الدين، فإذا لم يحرس الدين أو لم يقم بأمور المسلمين، فقد زال عنه حق الإمامة و وجب على الأمة - متمثلة بأهل الحال و العقد الذين يرجع إليهم تقدير الأمر في ذالك - خلعه و نصب آخر ممن يقوم بتحقيق مقاصد الإمامة. فأهل السنة عندما لا يجوزون الخروج على الأئمة بمجرد الظلم و الفسق - لأن الفجور و الظلم لا يعني بتضييعهم للدين - فيقصدون الإمام الذي يحكم بشرع الله، لأن السلف الصالح لم يعرفوا إمارة لا تحافظ على الدين فهذه عندهم ليست إمارة، و إنما الإمارة هي ما أقامت الدين ثم بعد ذالك قد تكون إمارة برة أو إمارة فاجرة
"Adapun para pemimpin yang meniadakan syari'at Allah dan tidak berhukum kepadanya serta berhukum kepada selainnya, maka mereka keluar dari hak (mendapatkan) ketaatan dari kaum muslimin.
Tidak ada ketaatan kepada mereka dari rakyat karena mereka menyia-nyiakan fungsi imamah yang karenanya mereka dijadikan pemimpin dan berhak didengar, dipatuhi serta tidak diberontak.
Karena pemimpin tidak berhak mendapatkan itu, kecuali karena ia menunaikan urusan-urusan kaum muslimin, menjaga agama dan menyebarkannya, menjalankan hukum, menjaga perbatasan, memerangi orang-orang yang menentang islam setelah mereka didakwahi. Mencintai kaum muslimin dan memusuhi musuh-musuh agama.
Apabila dia tidak menjaga agama atau tidak menunaikan urusan kaum muslimin, maka hilanglah hak imamah darinya dan wajib atas umat - yang diwakili oleh ahlul hal wal aqdi dimana mereka menjadi rujukan dalam menentukan masalah seperti ini - untuk memecatnya/menurunkannya dan menggantikannya dengan orang lain yang dapat merealisasikan fungsi imamah.
Ketika Ahlus Sunnah tidak membolehkan memberontak dan melawan para pemimpin karena sekedar kezholiman dan kefasikan - karena kezholiman dan kefasikan tidak berarti mereka Menyia-nyiakan agama- maka yang mereka (Ahlus Sunnah) maksudkan dengan pemimpin disini adalah para imam/pemimpin yang berhukum dengan syari'at Allah, karena shalafus shalih tidak mengenal imarah/kepemimpinan (pemerintahan) yang tidak menjaga/menegakkan agama. Pemerintahan dengan model seperti ini (yang tidak menjaga agama dan menunaikan urusan kaum kaum muslimin) - menurut mereka (salafus shalih) - bukanlah imarah/pemerintahan. Imarah itu hanyalah yang menegakkan agama, dan ia bisa merupakan imarah yang baik ataupun imarah yang fajir." (Lihat Al-Wajiz Fi 'Aqidah As-Salaf Ash-Shalih oleh Syaekh ' Abdullah bin 'Abdul Hamid Al-Atsari, hal 133) http://kallolougii.blogspot.co.id/2018/03/makna-ulil-amri-syari.html
EmoticonEmoticon