Kisah
pertama:
Seseorang
bercerita, “Kami merasa senang dan bahagia ketika mendengar seorang laki-laki
Filipina mengucapkan syahadatain dan mengumumkan keislamannya,
meninggalkan agamanya yang batil serta keyakinannya yang menyeleweng. Namun
demikian, kebahagiaan kami tentang orang yang masuk Islam itu tidak sempurna.
Seharusnya
dia menampakkan kebahagiaan dan kesenangan, karena telah menganut agama yang
hak. Namun, kami melihat mimik wajahnya berubah dari bahagia menjadi sedih dan
berduka. Selang beberapa saat kami melihat air matanya menetes. Kami membiarkan
ia beberapa saat untuk mengungkapkan apa yang ada pada dirinya.
Kami
saling memandang keheranan dengan apa yang kami lihat. Ketika sedihnya semakin
berkurang, kami meminta kepada kepada penerjemahnya menanyakan apa yang
menyebabkan dia tiba-tiba menangis? Tahukah Anda apa jawabanya? Dengan terbata
dia berkata, “Saya sangat bersyukur kepada Allah yang telah mengaruniaiku
nikmat masuk Islam dan menyelamatkanku dari Neraka, dan tidak mematikan aku
dalam kekafiran.
Tapi
sekarang saya bertanya tentang nasib kedua orang tua saya yang meninggal dunia
dalam keadaan kafir. Bukankah kalian bertanggungjawab tentang hidayah mereka?
Kenapa kalian tidak mendakwahi mereka atau orang-orang yang tersesat agar masuk
Islam? Mana peran kalian dalam mendakwahkan agama yang hak ini dan
menyebarkannya kepada orang-orang yang haus melebihi hausnya mereka tehadap
makan dan minum? Mana..? Mana..?
Kami
semua diam diliputi awan kesedihan mendengar kenyataan pahit ini. Setelah
mereka hanyut terpengaruh oleh kalimat berkesan tersebut, mereka berkata dalam
dirinya, “Dimana sebagian kaum Muslimin yang tidak menunaikan kewajiban
terhadap agamanya agar bisa mendengar ungkapan ini? Agar mereka mengetahui
keagungan dakwah dan bertanya amanah dakwah di setiap pundak mereka?”
Kisah
kedua:
Adapun
yang lainnya bercerita, “Saya ditugaskan oleh kantorku untuk bekerja di waktu
sore. Dalam perjalanan menuju tempat kerja saya melihat beberapa orang pemuda. Mereka
sedang berkumpul dalam permainan dan kemaksiatan. Ketika saya melihat mereka
dalam keadaan demikian, terbetik dalam diri saya bahwa besok saya akan
mengunjungi mereka untuk memberi nasihat. Tetapi setan membuatku mengurungkan
niat itu dan menundanya.
Setelah
lewat sekitar satu bulan, saya hentikan penundaan tersebut dan pergi kepada
mereka dan saya jelaskan bahwa sejak satu bulan yang lalu saya ingin
mengunjungi mereka. Saya berbicara kepada mereka tentang kewajiban pada Tuhan,
diri dan keluarganya, hakikat kematian yang mendadak bagi manusia di setiap
saat dari hidupnya, pentingnya amal shalih, menjauhkan diri dari kelalaian,
kemaksiatan dan seterusnya.
Saya
berbicara kepada mereka dan saya melihat pengaruhnya terpancar di wajah mereka.
Bahkan di antara mereka ada yang meneteskan air mata karena sedih atas
kenyataan yang tidak mengenakkannya. Setelah saya selesai berbicara, dengan
tegar salah seorang dari mereka berkata kepada saya sambil mencaci dan berkata,
“Wahai bapak! Kenapa bapak tidak menasihati kami sebelumnya? Sudah sebulan Anda
melihat kami dalam keadaan yang menyakitkan, namun itu tidak membuatmu
terpanggil? Bagaimana jadinya kalau salah seorang di antara kami meninggal
dalam keadaan demikian yang tidak diridhai oleh Allah dan Rasul-Nya? Bukankah
Anda akan ditanyai tentang hal itu pada hari Kiamat? Mana kepedulianmu kepada
kami sejak pertama kali Anda melihat kami?!
Saya
meninggalkan mereka dengan perasaan campur aduk antara suka dan duka. Bahagia karena
mereka mengungkapkan taubatnya dan keinginannya untuk istiqamah. Sedih karena
ketidakpedulian saya dan ketidakpedulian banyak orang yang memiliki sedikit
ilmu dan pengetahuan untuk menasihati orang-orang seperti itu. Orang yang
sangat butuh nasihat, sekalipun mereka secara lahiriah menolak dan tidak
menerimanya.
Kisah ketiga:
Orang
ketiga menceritakan tentang dirinya sendiri, “Saya pergi ke Afrika dan
menjelajahi di antara pepohonan dan hutannya, pemandangan indah dan alam yang
membuat orang tidak bosan memandangnya. Di tengah hutan yang lebat itu saya
melihat bangunan tinggi yang megah.”
Terlintas
dalam benak saya bahwa itu sebuah istana milik penguasa setempat atau orang
yang kaya di antara mereka. Tetapi dugaan saya keliru. Setelah saya mendekat,
ternyata jelas bahwa itu sebuah gereja. Gereja itu dikelola oleh seorang
misionaris tua yang usianya hampir delapan puluh tahun. Ia hidup di sebuah
kamar kecil di pojok gereja yang ukurannya tidak sampai dua puluh meter persegi
di tengah-tengah keterasingan dan hutan lebat yang penuh dengan binatang buas,
pencuri dan perampok. Di dalam kamar tersebut tidak terdapat perabotan modern
seperti yang kita miliki. Tidak terdapat telepon, listrik, air atau apa saja
yang bisa disaksikan oleh mata kita sehari-hari.
Bangunan
mewah itu adalah gereja yang digunakannya untuk berdakwah setiap pagi dan sore.
Saya bertanya pada diri saya, “Apa yang mendorong misionaris ini tinggal di
kamar yang berada di tengah ancaman binatang buas yang membahayakannya di
tengah ketakutan selama empat puluh tahun?” Jawabannya kami serahkan kepada
semangat keimanan Anda dan akal Anda yang cerdas.
Kisah
keempat:
Cerita
terakhir adalah seorang da’i yang menceritakan apa yang pernah dia lihat dan
dia dengar. Ia berkata, “Saya pernah berkeliling di salah satu desa di Afrika. Di
tengah perkampungan yang sangat terpencil, yang sangat membutuhkan bantuan
lantaran banyaknya penyakit menular, saya melihat seorang wanita tua –bukan laki-laki
atau pemuda– usianya sudah mencapai enam puluh tahun. Ia hidup bersama penduduk
kampung, seakan-akan ia merupakan bagian dari mereka.
Apabila
dilihat dari wajah dan warna kulitnya, membuktikan bahwa ia adalah orang Eropa,
namun menetap dan besar di sana. Saya tahu bahwa ia datang ke desa itu untuk
program kristenisasi dan mengajak orang-orang menganut agama yang batil. Saya heran
dengan perjuangan dan pengorbanannya yang jarang didapatkan pada kebanyakan da’i
muslim. Saya mencoba menyampaikan sebuah pertanyaan sindiran walaupun itu tidak
berguna. Saya barkata kepadanya, sekadar ingin tahu, “Kapan Anda kembali ke
negara Anda dan meninggalkan daerah ini?” Tapi saya dikejutkan oleh jawabannya
yang seperti tembakan,’ Kuburanku akan berada di sini!”
------------******---------
Kisah-kisah
di atas merupakan tamparan bagi kita (sebagai seorang muslim) agar kesadaran
kita hidup kembali setelah lama terkubur dalam lumpur yang gelap. Kita harus
ingat bahwa berdakwah adalah suatu kewajiban yang harus ditunaikan sesuai
kemampuan kita. Berilah nasihat-nasihat berharga untuk saudara-saudara kita,
karena nasihat itu sangat berarti untuk mereka. Jangan biarkan mereka
bergelimang dosa dan maksiat. Bimbing mereka ke jalan yang benar. Jalan yang
diridhai Allah Subhanahu wa Ta’ala, jalan Islam.
Info Lainnya:
EmoticonEmoticon