Di antara adab dalam Islam adalah menasihati orang lain
dengan cara sembunyi-sembunyi.
Sebagian ulama berkata: “Barangsiapa yang menasehati
seseorang dan hanya ada mereka berdua, maka itulah nasehat yang sebenarnya.
Barangsiapa yang menasehati saudaranya di depan banyak orang, maka yang
demikian itu mencela dan merendahkan orang yang dinasehati”.
Al-Fudhail bin Iyadh Rahimahullah berkata: “Seorang
mukmin adalah orang yang menutupi aib dan menasehati. Sedangkan orang fasik
adalah orang yang merusak dan mencela. ”
Syaikh Muhammad Ibnu Shaleh Al-Utsaimin Rahimahullah
berkata: “Dan perlu diketahui, nasehat adalah engkau bertatap muka dengannya
secara diam-diam, karena ketika engkau menasehatinya secara tersembunyi akan
berpengaruh pada dirinya, dan dia tahu bahwa engkau seorang pemberi nasehat.
Akan tetapi jika engkau menasehati di hadapan khalayak ramai terkadang membuat
dia sombong yang menyebabkan dosa serta dia enggan menerima nasehatmu. Dan
bahkan terkadang beranggapan bahwa engkau hendak menghinakan dan mempermalukan
dia di hadapan manusia sehingga dia menolak nasehat tadi. Tetapi jika engkau
menasehatinya secara rahasia akan menjadi bahan pertimbangan besar bagimu di sisinya.
”
Hal itu berlaku bagi siapa saja, baik penguasa, tokoh agama
ataupun yang lainnya.
Memberikan nasehat kepada penguasa hendaknya dilakukan
dengan sembunyi-sembunyi, seperti mendatanginya secara langsung atau mengirim
surat kepadanya.
Akan tetapi, jika cara sembunyi-sembunyi tidak dapat
ditempuh, maka diperbolehkan menasihatinya secara terbuka. Seperti
mendatanginya ramai-ramai.
Imam Al-Auza’i rahimahullah berkata: Jarir pernah
datang dan dia berdiri lama di pintu khalifah Umar bin Abdul Aziz radhiyallahu
‘anhu namun beliau tidak menemuinya, kemudian Jarir menulis sebuah surat
kepada ‘Aun bin Abdillah yang berisi syair yang ditujukan kepada khalifah Umar
bin Abdul Aziz radhiyallahu ‘anhu:
“Wahai pembaca surat yang memancangkan surbannya, (sekarang)
ini adalah masamu. Masaku telah berlalu. Sampaikanlah kepada khalifah kita
apabila engkau menemuinya. Sesungguhnya aku berada di pintu seperti orang
terbelenggu di tanduk. ” (Lihat Tarikh Khulafa’ Karya Imam As-Suyuti Asy-Syafii
dalam biografi Umar bin Abdul Aziz)
Wahib bin Al-Ward berkata: “(Rombongan) Bani Marwan pernah
berkumpul di depan pintu khalifah Umar bin Abdul Aziz radhiyallahu ‘anhu
kemudian mereka berkata kepada Abdul Malik yaitu anaknya, katakan kepada
ayahmu, sesungguhnya para khalifah sebelum dia memberi jatah kepada kami dan
mereka menetapkan posisi kami. Ayahmu menahan untuk kami apa yang ada di
tangannya, kemudian Abdul Malik masuk menemui ayahnya dan menyampaikan pesan
itu. Abdul Malik berkata kepada mereka, sesungguhnya ayahku berkata, aku takut
mendapatkan siksa yang pedih apabila aku berbuat maksiat kepada Tuhanku. ”
(Lihat Tarikh Khulafa’ Karya Imam As-Suyuti Asy-Syafii dalam biografi khalifah
Umar bin Abdul Aziz)
Imam An-Nawawi Asy-Syafii rahimahullah ketika
menjelaskan sebuah hadis dalam kitabnya syarah sahih muslim dalam bab “Balasan
bagi orang yang memerintahkan orang lain untuk berbuat baik tetapi dia tidak
melakukannya dan memerintahkan orang lain agar tidak berbuat buruk tetapi dia
melakukannya”, yaitu hadis sahih yang tercantum dalam kitab sahih muslim no.
2.989, beliau rahimahullah mengatakan:
قوله (أفتتح أمرا لاأحب أن أكون أول من افتتحه) يعنى
المجاهرة بالإنكار على الأمراء فى الملأ كما جرى لقتله عثمان رضى الله عنه وفيه الأدب
مع الأمراء واللطف بهم ووعظهم سرا وتبليغهم ما يقول الناس فيهم لينكفوا عنه وهذا كله
اذا أمكن ذلك فان لم يمكن الوعظ سرا والانكار فليفعله علانية لئلا يضيع أصل الحق
Perkataannya “Aku tidak akan membuka perkara (fitnah) di
mana aku tidak menyukai sekiranya aku adalah orang pertama yang membukanya,”
maknanya adalah, “Secara terang-terangan dalam menasihati penguasa di hadapan
khalayak ramai, sebagaimana pernah terjadi kepada para pembunuh ‘Utsman radhiyallahu
‘anhu. Dalam hadis ini terdapat adab terhadap penguasa, berlemah-lembut
terhadap mereka, menasihati mereka secara rahasia dan menyampaikan perkataan
manusia tentang mereka supaya mereka berhenti dari kemungkaran tersebut. Ini
semua dilakukan sekiranya memungkinkan (mampu), tetapi sekiranya tidak mampu
untuk menasihati dan mencegah kemungkaran penguasa secara rahasia, maka
hendaklah seseorang melakukannya juga secara terang-terangan atau terbuka
supaya kebenaran itu tidak diabaikan.” (Lihat Syarah Shahih Muslim Karya Imam
An-Nawawi Pustaka Darul Iman Al-Azhar Mesir Halaman 271)
Menasehati secara terbuka bukan berarti mengumbar aibnya di
khalayak ramai, mencacinya, menghujatnya atau mendzaliminya akan tetapi tetap
memperhatikan adab-adab Islam.
Jadi, menasehati penguasa tidak hanya dilakukan secara
tertutup akan tetapi ada kalanya dilakukan secara terbuka sebagaimana
penjelasan di atas. Wallahu A’lam
Oleh: Abul Fata Miftah Murod, S. Ud, Lc
EmoticonEmoticon